KH Athoillah SE MSi, Separuh Hidupnya Diabdikan Untuk NU
Radardesa-Brebes. Sosoknya begitu lembut meskipun tegas dalam pengambilan suatu keputusan. Termasuk ketika penulis berbincang di ruang Asisten Sekda bidang Pemerintahan Pemkab Brebes, Selasa (4/10). Dia tampak begitu santai dengan perbincangan yang lembut. Ketegasannya, dia tunjukan dengan menjawab secara sigap semua pertanyaan yang dilontarkan penulis.
Sosok Kiai Athoillah menjadi representasi tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Brebes. Karena terbukti, sumbangsihnya dalam merawat NU selama tiga periode menjadi Ketua Pengurus Cabang (PC) NU Kabupaten Brebes cukup berhasil.
Kesederhanaan lelaki kelahiran Larangan, 19 Desember 1959 ini terlihat sejak kecil, seperti seneng tidur di Masjid Dukuh Lamaran, Desa Sitanggal Larangan Brebes. Dengan tidur di masjid, katanya, tidak pernah ketinggalan sholat subuh. Juga ada berbagai perbincangan seputar dunia Islam yang kerap terlontar dari teman-teman kecilnya, sehingga terpatri semangatnya untuk membumikan Islam di daerahnya.
Atho kecil, mengaku harus membanting tulang setelah ditinggal Sang Ayah KH Syatori Marlan pada usia 10 tahun. Namun dia tidak cengeng, terbukti dia membantu Sang Ibu Hj Fatimah terjun ke sawah ikut derep (panen padi), ketika kakek atau sedulurnya panen. Dari hasil derep tadi, uangnya ia tabung lalu dibelikan cempe (anak kambing) yang kemudian dia titipkan ke orang lain. “Hasilnya lumayan, bisa buat bayar uang sekolah,” kata Suami Henny Rosdiyati ini.
Kang Atho, demikian panggilan akrabnya, menempuh pendidikan di MI Wihdatussyubban 01 lulus 1972, lalu MTs Assalafiyah Sitanggal lulus 1975, selanjutnya diikhtiarkan dengan mondok di Mayangan Cogoroto Jombang sembari menempuh pendidikan Madrasah Aliyah lulus 1979. Sarjana Manajemen, dia tempuh di STIE Cirebon dan Pasca Sarjana diselesaikannya di Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon.
Perpaduan antara Pendidikan Umum dan Nyantri, menolong dirinya dalam aktivitasnya sebagai birokrat dan organisatoris yang ulung. Sehingga karier dibidang kepegawaian tergolong mulus meski harus berebut waktu dengan pengabdiannya dalam manjalankan pengabdian sebagai kader NU.
Saking padatnya waktu, Athoillah mengatakan kalau hari Minggu dia libur sebagai PNS. Tapi kalau hari Ahad, dia tetap berangkat untuk mengabdi dalam berbagai kegiatan ke-NU-an. “Kalau hari Minggu saya libur, tetapi kalau Ahad saya tetap berangkat mengabdi, ngurusin NU dan Nahdliyin,” ucapnya.
Mengawali kariernya, Athoillah diangkat sebagai CPNS golongan II/a posisi juru penerang di Kecamatan Kersana pada 1 Maret 1980. Selang enam tahun, dia menduduki eselon Va per 24 Mei 1986 sebagai Kasubsi Monit dan Perpustakaan Kantor Deppen Kab Brebes.
Dari birokrasi, dia meloncat sebagai anggota DPRD Kab Brebes Fraksi Golkar per 4 Juli 1997 hingga 1999. Pengabdian sebagai anggota Dewan hanya berlangsung 3 tahun karena pergantian kepemimpinan era reformasi. Begitupan dengan Depertemen Penerangan dibubarkan Gus Dur, menjadikan dia kembali ke birokrasi. Hebatnya, dia langsung memangku eselon IV sebagai Kasubag TU Kantor Sosial Kabupaten Brebes (2001).
Kariernya terus melangit dengan menjadi Plt Kabag Agama, sosial, kependudukan, tenaga kerja dan transmigrasi (sosduknakertrans) Setda Brebes (eselon III/a) lalu definitif jadi Kabag agama sosduknakertrans setda dan memangku Kabag Kesra Setda Brebes per 20 Januari 2009. Dari Kabag Kesra kariernya melejit sebagai Asisten Administrasi Umum Setda dan Kepala BKD Brebes dalam eselon IIa.
Saat menjadi Kepala BKD, dia merintis pembangunan Kantor BKD ke bekas SMK Pusponegoro 02. Dengan sarana dan prasarana kantor yang luas, menjadikan pelayanan kepada pegawai makin maksimal.
Perhelatan pemilihan umum langsung, mengantarkan dia sebagai pendamping calon Bupati Brebes berpasangan dengan H Agung Widiyantoro SH MSi. Tetapi takdir berbicara lain karena kalah dalam kompetisi pesta demokrasi rakyat tersebut, walaupun dia harus mundur dari Kepala BKD Kabupaten Brebes. “Satu sisi saya bangga, karena NU bisa menempatkan politik kebangsaanya, meskipun NU bukan partai politik tetapi kadernya mendapat kepercayaan sebagai calon wakil bupati,” tuturnya.
Ayah dari Andi Azis Amin Amrulloh, Alfiana Auliatul Amri dan Ainul Amri Al Anshori ini mengaku, bahwa apapun yang diminta umat dan untuk kepentingan umat, dirinya tetap siap mengabdi. Pasalnya, dirinya tidak pernah mencari jabatan. Termasuk menjadi Calon Wakil Bupati. “Secara pribadi, saya tidak berminat dipasangkan sebagai calon wakil bupati, tapi karena itu tuntutan umat maka bismillah saya lakoni sebagai calon wakil bupati saat itu,” ungkapnya.
Konsekwensi nyalon Pilkada, dia mendapatkan ‘getah’ politik dengan tidak mendapatkan jabatan sesuai dengan eselonnya. Athoillah turun eselon dari IIa ke IIIa, dia ditempatkan sebagai Kepala Kantor Kesbangpol, lalu dipindah lagi sebagai Sekretaris Dinparbudpora. Selanjutnya, dia dipercaya sebagai Kepala Kantor Data Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Brebes per 16 Oktober 2015.
Kegigihan Athoillah dalam meraih kesuksesan karier, dia tunjukan dengan mengikuti Lelang Jabatang untuk jabatan Eselon II di Setda Brebes. “Atas berkat rahmat Allah SWT, saya mendapatkan kepercayaan sebagai Asisten Sekda bidang Pemerintahan, per 30 September 2016,” tuturnya tanpa bermaksud membanggakan diri.
Sebagai Ketua NU tiga periode, Athoillah memiliki konsep yang jelas sehingga mengantarkan NU Brebes sebagai organisasi yang berpegang teguh pada Ahlussunah Wal jamaah dengan prinsip rahmatan lil alamin.
Ikut NU, Athoillah tidak ujug-ujug tetapi dilakoni mlipir dari tingkatan yang paling rendah sebagai IPNU, Ansor, Lembaga NU, hingga akhirnya menapak mantap di NU. Kadang Atho juga mengatakan, kalau orang NU belum mantap benar berorganisasi di NU, dia katakan bintangnya kurang. “Dia itu NU, tetapi bintangnya belum genap sembilan, masih delapan,” kata Atho yang kerap menggunakan istilah banyolan ketika mengisi ceramah.
Mengenal NU, kata Atho, didapatnya dari Sang Ayah yang juga kyai kampung namun getol merawat tradisi NU. Dia makin matang ketika dikirim ke pondok pesantren Darul Ulum di Jombang dengan bergabung di Ikapdar. Jiwa organisasinya sudah melekat, ketika mondok, dalam satu kamar seharusnya diisi dengan 4 orang saja. Tetapi atas perintah Kiainya, ditambahlah satu orang lagi yang nota bene anak baru tersebut dari keluarga tidak mampu. Maka Atho berinisiatif agar anak tersebut bisa nembol dikamarnya dan tetap mendapatkan jatah makan dan lain-lain meskipun tidak ikut iuran.
Dari pengalaman mondok, Atho memiliki motto hidup, berkarya lebih berharga daripada gaya. Prestasi lebih berarti dari pada gengsi yang sering dia omongkan ke teman-teman pondoknya.
Sepulang mondok, dia dipercaya menjadi sekretaris Lembaga Pendidikan Maarif PC NU Kabupaten Brebes (1988-1993), lalu didaulat sebagai Ketua LP Maarif NU 1993-1998.
Saat menjadi Ketua LP Maarif, penggemar Pecel Lele mendapat pengalaman yang tidak terlupakan terutama saat mendirikan MTs Maarif NU 03 Plompong Sirampog. Karena dengan medan yang sulit, maka harus naik ojek dan jalan kaki naik gunung. “Meski penuh rintangan, yang penting pendidikan NU di Brebes benar-benar maju,” kenangnya.
Atas kegigihannya, Athoillah berhasil mendirikan 22 sekolah MI/SD, SMP/MTs hingga SLTA mencapai 22 sekolah Maarif NU dalam kurun waktu 1988-1998 se Kabupaten Brebes.
Sebagai Ketua PC NU, Athoillah pada periode 2003-2008 meletakan pondasi organisasi dengan melakukan konsolidasi dari tingkat Ranting hingga Cabang. Naik turun gunung, dia selusuri terus hingga berhasil membentuk Pengurus Ranting (PR) dan Pengurus Anak Ranting (PAR) di 17 Majelis Wakil Cabang (MWC). “Semula PR yang berdiri ada 250 kemudian berkembang menjadi 352 PR, jumlah ini melebihi jumlah desa yang hanya 297 desa dan kelurahan se Kabupaten Brebes,” tuturnya.
Periode 2009-2014, mampu mendirikan gedung NU yang representative sebagai pusat kegiatan ditingkat Cabang. “Dengan gedung yang representative kegiatan NU semakin berkembang dan punya kebanggaan sendiri bagi Nahdliyin,” terangnya.
Periode 2014-2019, Athoillah bertekad mendirikan perguruan tinggi NU. Dengan perguruan tinggi ini, diharapkan para kader NU tidak lagi tertinggal dalam dunia pendidikan dan juga bisa menyediakan perguruan tinggi tinggi yang unggul. “Tanah untuk mendirikan Perguruan Tinggi sudah tersedia, tinggal umpul-umpul lainnya, termasuk menyiapkan SDM dan lain-lainnya,” kata Athoillah.
Sebagai Ketua NU, dia ingin Brebes menjadi lebih baik ditingkat pendidikan, ekonomi dan SDM sehingga mampu mendongkrak Indeks Pembangunan Manusia pada level 10 besar. Pada muaranya, akan terwujud masyarakat yang sejahtera, agamis dan beraklakul karimah.
Apa yang dilakoni Athoillah, menurutnya tidak terlepas dari peran istri dan anak-anaknya untuk mencapai sukses. Baginya, istrinya sangat mendukung positif asal untuk kepentingan umat. Maka ketika jarang ketemu dengan keluarga, istri tidak mempersoalkannya. “Prinsip kami, saling percaya dan menjaga kepercayaan itu,” tandasnya.
Itulah Athoillah, lebih dari separoh hidupnya diwakafkan untuk kepentingan organisasi, NU dan Umat. Semoga apa yang diikhtiarkan Athoillah menjadi iktibar generasi muda Brebes. Sebagai motto hidupnya, sebaik-baik orang yang bermanfaat untuk orang lain. (Dade Humas)
Sosok Kiai Athoillah menjadi representasi tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Brebes. Karena terbukti, sumbangsihnya dalam merawat NU selama tiga periode menjadi Ketua Pengurus Cabang (PC) NU Kabupaten Brebes cukup berhasil.
Kesederhanaan lelaki kelahiran Larangan, 19 Desember 1959 ini terlihat sejak kecil, seperti seneng tidur di Masjid Dukuh Lamaran, Desa Sitanggal Larangan Brebes. Dengan tidur di masjid, katanya, tidak pernah ketinggalan sholat subuh. Juga ada berbagai perbincangan seputar dunia Islam yang kerap terlontar dari teman-teman kecilnya, sehingga terpatri semangatnya untuk membumikan Islam di daerahnya.
Atho kecil, mengaku harus membanting tulang setelah ditinggal Sang Ayah KH Syatori Marlan pada usia 10 tahun. Namun dia tidak cengeng, terbukti dia membantu Sang Ibu Hj Fatimah terjun ke sawah ikut derep (panen padi), ketika kakek atau sedulurnya panen. Dari hasil derep tadi, uangnya ia tabung lalu dibelikan cempe (anak kambing) yang kemudian dia titipkan ke orang lain. “Hasilnya lumayan, bisa buat bayar uang sekolah,” kata Suami Henny Rosdiyati ini.
Kang Atho, demikian panggilan akrabnya, menempuh pendidikan di MI Wihdatussyubban 01 lulus 1972, lalu MTs Assalafiyah Sitanggal lulus 1975, selanjutnya diikhtiarkan dengan mondok di Mayangan Cogoroto Jombang sembari menempuh pendidikan Madrasah Aliyah lulus 1979. Sarjana Manajemen, dia tempuh di STIE Cirebon dan Pasca Sarjana diselesaikannya di Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon.
Perpaduan antara Pendidikan Umum dan Nyantri, menolong dirinya dalam aktivitasnya sebagai birokrat dan organisatoris yang ulung. Sehingga karier dibidang kepegawaian tergolong mulus meski harus berebut waktu dengan pengabdiannya dalam manjalankan pengabdian sebagai kader NU.
Saking padatnya waktu, Athoillah mengatakan kalau hari Minggu dia libur sebagai PNS. Tapi kalau hari Ahad, dia tetap berangkat untuk mengabdi dalam berbagai kegiatan ke-NU-an. “Kalau hari Minggu saya libur, tetapi kalau Ahad saya tetap berangkat mengabdi, ngurusin NU dan Nahdliyin,” ucapnya.
Mengawali kariernya, Athoillah diangkat sebagai CPNS golongan II/a posisi juru penerang di Kecamatan Kersana pada 1 Maret 1980. Selang enam tahun, dia menduduki eselon Va per 24 Mei 1986 sebagai Kasubsi Monit dan Perpustakaan Kantor Deppen Kab Brebes.
Dari birokrasi, dia meloncat sebagai anggota DPRD Kab Brebes Fraksi Golkar per 4 Juli 1997 hingga 1999. Pengabdian sebagai anggota Dewan hanya berlangsung 3 tahun karena pergantian kepemimpinan era reformasi. Begitupan dengan Depertemen Penerangan dibubarkan Gus Dur, menjadikan dia kembali ke birokrasi. Hebatnya, dia langsung memangku eselon IV sebagai Kasubag TU Kantor Sosial Kabupaten Brebes (2001).
Kariernya terus melangit dengan menjadi Plt Kabag Agama, sosial, kependudukan, tenaga kerja dan transmigrasi (sosduknakertrans) Setda Brebes (eselon III/a) lalu definitif jadi Kabag agama sosduknakertrans setda dan memangku Kabag Kesra Setda Brebes per 20 Januari 2009. Dari Kabag Kesra kariernya melejit sebagai Asisten Administrasi Umum Setda dan Kepala BKD Brebes dalam eselon IIa.
Saat menjadi Kepala BKD, dia merintis pembangunan Kantor BKD ke bekas SMK Pusponegoro 02. Dengan sarana dan prasarana kantor yang luas, menjadikan pelayanan kepada pegawai makin maksimal.
Perhelatan pemilihan umum langsung, mengantarkan dia sebagai pendamping calon Bupati Brebes berpasangan dengan H Agung Widiyantoro SH MSi. Tetapi takdir berbicara lain karena kalah dalam kompetisi pesta demokrasi rakyat tersebut, walaupun dia harus mundur dari Kepala BKD Kabupaten Brebes. “Satu sisi saya bangga, karena NU bisa menempatkan politik kebangsaanya, meskipun NU bukan partai politik tetapi kadernya mendapat kepercayaan sebagai calon wakil bupati,” tuturnya.
Ayah dari Andi Azis Amin Amrulloh, Alfiana Auliatul Amri dan Ainul Amri Al Anshori ini mengaku, bahwa apapun yang diminta umat dan untuk kepentingan umat, dirinya tetap siap mengabdi. Pasalnya, dirinya tidak pernah mencari jabatan. Termasuk menjadi Calon Wakil Bupati. “Secara pribadi, saya tidak berminat dipasangkan sebagai calon wakil bupati, tapi karena itu tuntutan umat maka bismillah saya lakoni sebagai calon wakil bupati saat itu,” ungkapnya.
Konsekwensi nyalon Pilkada, dia mendapatkan ‘getah’ politik dengan tidak mendapatkan jabatan sesuai dengan eselonnya. Athoillah turun eselon dari IIa ke IIIa, dia ditempatkan sebagai Kepala Kantor Kesbangpol, lalu dipindah lagi sebagai Sekretaris Dinparbudpora. Selanjutnya, dia dipercaya sebagai Kepala Kantor Data Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Brebes per 16 Oktober 2015.
Kegigihan Athoillah dalam meraih kesuksesan karier, dia tunjukan dengan mengikuti Lelang Jabatang untuk jabatan Eselon II di Setda Brebes. “Atas berkat rahmat Allah SWT, saya mendapatkan kepercayaan sebagai Asisten Sekda bidang Pemerintahan, per 30 September 2016,” tuturnya tanpa bermaksud membanggakan diri.
Sebagai Ketua NU tiga periode, Athoillah memiliki konsep yang jelas sehingga mengantarkan NU Brebes sebagai organisasi yang berpegang teguh pada Ahlussunah Wal jamaah dengan prinsip rahmatan lil alamin.
Ikut NU, Athoillah tidak ujug-ujug tetapi dilakoni mlipir dari tingkatan yang paling rendah sebagai IPNU, Ansor, Lembaga NU, hingga akhirnya menapak mantap di NU. Kadang Atho juga mengatakan, kalau orang NU belum mantap benar berorganisasi di NU, dia katakan bintangnya kurang. “Dia itu NU, tetapi bintangnya belum genap sembilan, masih delapan,” kata Atho yang kerap menggunakan istilah banyolan ketika mengisi ceramah.
Mengenal NU, kata Atho, didapatnya dari Sang Ayah yang juga kyai kampung namun getol merawat tradisi NU. Dia makin matang ketika dikirim ke pondok pesantren Darul Ulum di Jombang dengan bergabung di Ikapdar. Jiwa organisasinya sudah melekat, ketika mondok, dalam satu kamar seharusnya diisi dengan 4 orang saja. Tetapi atas perintah Kiainya, ditambahlah satu orang lagi yang nota bene anak baru tersebut dari keluarga tidak mampu. Maka Atho berinisiatif agar anak tersebut bisa nembol dikamarnya dan tetap mendapatkan jatah makan dan lain-lain meskipun tidak ikut iuran.
Dari pengalaman mondok, Atho memiliki motto hidup, berkarya lebih berharga daripada gaya. Prestasi lebih berarti dari pada gengsi yang sering dia omongkan ke teman-teman pondoknya.
Sepulang mondok, dia dipercaya menjadi sekretaris Lembaga Pendidikan Maarif PC NU Kabupaten Brebes (1988-1993), lalu didaulat sebagai Ketua LP Maarif NU 1993-1998.
Saat menjadi Ketua LP Maarif, penggemar Pecel Lele mendapat pengalaman yang tidak terlupakan terutama saat mendirikan MTs Maarif NU 03 Plompong Sirampog. Karena dengan medan yang sulit, maka harus naik ojek dan jalan kaki naik gunung. “Meski penuh rintangan, yang penting pendidikan NU di Brebes benar-benar maju,” kenangnya.
Atas kegigihannya, Athoillah berhasil mendirikan 22 sekolah MI/SD, SMP/MTs hingga SLTA mencapai 22 sekolah Maarif NU dalam kurun waktu 1988-1998 se Kabupaten Brebes.
Sebagai Ketua PC NU, Athoillah pada periode 2003-2008 meletakan pondasi organisasi dengan melakukan konsolidasi dari tingkat Ranting hingga Cabang. Naik turun gunung, dia selusuri terus hingga berhasil membentuk Pengurus Ranting (PR) dan Pengurus Anak Ranting (PAR) di 17 Majelis Wakil Cabang (MWC). “Semula PR yang berdiri ada 250 kemudian berkembang menjadi 352 PR, jumlah ini melebihi jumlah desa yang hanya 297 desa dan kelurahan se Kabupaten Brebes,” tuturnya.
Periode 2009-2014, mampu mendirikan gedung NU yang representative sebagai pusat kegiatan ditingkat Cabang. “Dengan gedung yang representative kegiatan NU semakin berkembang dan punya kebanggaan sendiri bagi Nahdliyin,” terangnya.
Periode 2014-2019, Athoillah bertekad mendirikan perguruan tinggi NU. Dengan perguruan tinggi ini, diharapkan para kader NU tidak lagi tertinggal dalam dunia pendidikan dan juga bisa menyediakan perguruan tinggi tinggi yang unggul. “Tanah untuk mendirikan Perguruan Tinggi sudah tersedia, tinggal umpul-umpul lainnya, termasuk menyiapkan SDM dan lain-lainnya,” kata Athoillah.
Sebagai Ketua NU, dia ingin Brebes menjadi lebih baik ditingkat pendidikan, ekonomi dan SDM sehingga mampu mendongkrak Indeks Pembangunan Manusia pada level 10 besar. Pada muaranya, akan terwujud masyarakat yang sejahtera, agamis dan beraklakul karimah.
Apa yang dilakoni Athoillah, menurutnya tidak terlepas dari peran istri dan anak-anaknya untuk mencapai sukses. Baginya, istrinya sangat mendukung positif asal untuk kepentingan umat. Maka ketika jarang ketemu dengan keluarga, istri tidak mempersoalkannya. “Prinsip kami, saling percaya dan menjaga kepercayaan itu,” tandasnya.
Itulah Athoillah, lebih dari separoh hidupnya diwakafkan untuk kepentingan organisasi, NU dan Umat. Semoga apa yang diikhtiarkan Athoillah menjadi iktibar generasi muda Brebes. Sebagai motto hidupnya, sebaik-baik orang yang bermanfaat untuk orang lain. (Dade Humas)
0 Response to "KH Athoillah SE MSi, Separuh Hidupnya Diabdikan Untuk NU"
Posting Komentar